BAB II
BUDAYA WALIMAH DI ACEH dan KELANTAN SERTA
PENGARUH ISLAM DI DALAM KEDUANYA
A. BUDAYA WALIMAH di ACEH dan PENGARUH ISLAM
1. Walimah di Aceh
Walimah adalah pesta perkawinan yang dilakukan untuk mengumumkan bahwa
sepasang insan telah menikah dan akan mengarungi hidup bersama dalam suka dan
duka. Hal ini dilakukan oleh setiap penduduk di muka bumi baik muslim maupun
non muslim.
Tidak diragukan lagi, bahwa setiap daerah mempunyai tatacara masing-masing.
Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Daerah Aceh mempunyai
tatacara yang telah ada semenjak dahulu kala dan sampai saat ini masih ada
budaya walimah tersebut.
Masyarakat Aceh dalam mengadakan pesta perkawinan ini sangat tergantung
kepada kemampuan ekonomi. Jika ekonomi mendukung maka acara akan
diselenggarakan secara meriah dan sebaliknya[1].
Untuk memudahkan dan mencepatkan urusan, orang tua calon darabaro mengundang
Keuchik, Teungku Meunasah dan orang-orang tua kampung ke rumahnya untuk makan
pada suatu malam sesudah shalat maghrib beberapa malam sebelum menerima linto. Sesudah
makan, orang tua (ayah) atau wakilnya menerangkan maksudnya dan meukeureujanya
(pesta perkawinan) pada hari dan malam yang telah ditentukan, memberi
keterangan beberapa banyak tamu yang diundang, mulai jam berapa sampai jam
berapa acara pesta perkawinan dilaksanakan[2].
Beberapa urusan pekerjaan yang bersangkutan dimintakan oleh ayah kepada
mereka untuk membantu demi terselenggaranya acara pesta perkawinan tersebut.
Misalnya, urusan penerimaan tamu, bagian masak-memasak, pencucian piring,
penyajian makanan dan lain-lain yang diperlukan. Mau tidak mau mereka
menerima pekerjaan itu. Mereka bertanggung jawab atas kebahagiaan dan
ketentraman kampungnya. Mereka dijamu makan
lagi, sesudah urusan meukeureuja selesai semuanya[3].
Keuchik, Teungku Meunasah dan orang-orang tua yang bersangkutan itu boleh
menunjuk orang-orang kampungnya yang tepat dan diperlukan masing-masing untuk
urusan-urusan itu. Mereka tidak berberat hati untuk menerimanya, karena mereka
sadar bahwa kelak mereka akan mengalami yang demikian[4].
Penerimaan tamu pria dilakukan oleh ayah darabaro, Teungku Imam, dan
Keuchik serta orang-orang tua kampung setempat dan para tamunya ditempatkan di serambi
depan rumah atau di tempat darurat yang disebut “seueng” atau tenda.
Penerimaan tamu wanita dilakukan oleh wanita sendiri dan dahulu ditempatkan
di serambi belakang rumah yang bersangkutan, namun sekarang dimana-mana di
dalam rumah.
Seluruh para undangan dihidangkan makanan yang enak dalam wadah talam.
Namun sekarang tidak lagi dengan hidangan tetapi mengambil sendiri makanan yang
telah tersedia di tempat persediaan makanan atau istilah sekarang sistem ini
dikenal dengan sistem prasmanan (sistem layan diri).
Biasanya, walimatul urusy itu berlangsung selama satu hari, kira-kira pukul
3 sore hari selesai acara tersebut. Terkadang tamu yang jauh agak terlambat
menghadiri acara itu. Namun tuan rumah juga menyantuni tamu tersebut dengan
baik pula.
Tamu yang menghadiri pesta perkawinan itu biasanya tidak ada yang datang dengan tangan kosong. Mereka
semua memberikan sumbangan (teumeuntuek) menurut kemampuan masing-masing.
Teumeuntuek ini dinamakan dengan “Adat Muqabalah” yang maksudnya adalah adat
saling berbalas. Suami-Istri yang menjadi tamu harus menyumbang masing-masing,
tidak boleh digabungkan. Namun sekarang sebagai sumbangan, ada juga yang
memberikan barang, misalnya seperti kain,
pecah-belah, dan sebagainya. Barang-barang yang dibawakan tersebut dibungkus
rapi atau dengan kata lain sekarang disebut “Kado” dan dituliskan nama dari
siapa datangnya.
Para tamu yang diundang untuk menghadiri pesta perkawinan tersebut biasanya
terdiri dari sahabat-sahabat,
kenalan-kenalan yang dekat dan jauh, ahli waris atau famili jauh dari pihak
linto.
Sebelum
meukeureuja (pesta perkawinan), famili
terdekat memberikan sumbangan untuk keperluan acara pesta baik berupa uang
maupun berupa barang seperti binatang ternak, beras, sayur mayur dan lain-lain.
Ketika hari acara pesta linto dan darabaro
mengenakan pakaian adat Aceh. Pakaiannya dibuat khusus untuk dipakai oleh
pengantin baru, tidak sama seperti baju biasa. Warna pakaian yang digunakan
warna kuning emas dan warna hitam.
2. Pengantaran Linto (antat linto)
Setelah linto (mempelai laki-laki) meminta izin kepada orang tua dan
saudara-saudaranya semua maka dituntun oleh beberapa orang tua untuk turun dari
tangga rumahnya. Begitu sampai di bawah, orang tua itu mengucapkan “Allahumma
Shalli ‘Ala Muhammad”. Para hadirin yang akan mengantarkan linto menyahut
“Shallu ‘Alaih” dengan nada semangat dan diulangi sampai 3 kali sambil
menempatkan lintonya di tengah-tengah para pengantarnya.
Para pengantarnya terbatas sesuai dengan hasil kesepakatan pihak darabaro
dan pihak lintobaro. Hal ini biasanya didasarkan pada keuangan dari orang tua
pihak darabaro, karena orang Aceh tidak mengenal uang hangus yang khusus
digunakan untuk acara pesta.
Dalam pengantaran ini, lintobaro membawa oleh-oleh untuk darabaronya berupa
barang. Misalnya seperti kain sarung, pakaian baik dalam maupun luar,
seperangkat alat shalat, makanan, kue-kue dan lain sebagainya.
Ketika tiba di pekarangan rumah darabaro, mereka menyimpan linto di
belakang mereka dan ketua rombongan akan berbicara dengan orang yang menyambut
kedatangan mereka sambil berpantun-memantun yang saling sahut-menyahut antara
kedua belah pihak. Setelah itu, barulah penyambut memberikan sirih kepada para
tamunya sebagai tanda suatu kehormatan.
Ketika linto sudah sampai di pintu rumah darabaro, seorang perempuan tua mempeusijueknya
(menepung tawari) sambil membaca beberapa patah do’a yang isinya meminta kepada
Allah agar menyejahterakan linto tersebut. Setelah itu barulah linto beserta
rombongan dimasukan ke dalam rumah untuk mencicipi makanan yang telah
dihidangkan.
Sesudah mencicipi hidangan, linto dipersilakan untuk menduduki pelaminan dan
duduk bersanding dengan darabaro yang telah dihias begitu cantik dan elok
dipandang mata. Di persandingan tersebut, mereka berdua dipeusijuek lagi oleh
orang tua yang lain.
Setelah acara persandingan selesai maka dilakukan pula acara Seuneumah,
yaitu linto baro mengadakan sembah (sungkem) kepada kedua orang tua darabaro
dan kerabatnya.
Pada acara tueng darabaro (penerimaan darabaro)
juga demikian dilakukan.
3. Pengaruh Islam dalam Adat Walimah Aceh
Jika kita kaji lebih mendalam, maka pengaruh keislamannya akan kita dapati
sangat banyak dan besar. Mulai dari turunnya seorang linto dari rumahnya sudah
jelas di sana terdapat pengaruh islam begitu besar, yaitu, linto meminta izin
kepada kedua orang tuanya beserta saudara-saudaranya. Sebagaimana firman Allah:
4Ó|Ós%ur y7/u wr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$Î) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7t x8yYÏã uy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdxÏ. xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& wur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJÌ2 ÇËÌÈ
Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka
dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS. Al-Isra’:
23)
Hadis Rasulullah,
صَاحِبُ هَذِهِ
الدَّارِ وَأَوْمَأَ بِيَدِهِ إِلَى دَارِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى
وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ[5] (رواه البخاري)
Seorang shahabat datang kepada Rasul dan bertanya, pekerjaan apa yang
paling dicintai Allah? Rasul bersabda, shalat tepat pada waktunya, shahabat
bertanya lagi, kemudian apa? Rasul bersabda, berbuat baik kepada kedua ibu
bapak, shahabat bertanya lagi, kemudian apa? Rasul bersabda, bersungguh-sungguh
di jalan Allah. (H.R. Bukhari)
Kemudian ketika menyemarakkan dengan kata-kata
selawat ke atas Nabi, itu juga pengaruh Islam. Firman Allah,
¨bÎ) ©!$# ¼çmtGx6Í´¯»n=tBur tbq=|Áã n?tã ÄcÓÉ<¨Z9$# 4 $pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#q=|¹ Ïmøn=tã (#qßJÏk=yur $¸JÎ=ó¡n@ ÇÎÏÈ
Sesungguhnya Allah dan
malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman,
bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.(QS. Al-Ahzab: 56)
Semua tamu yang diundang dengan senang hati
memenuhi undangan tersebut. Kalau mereka tidak memenuhinya (karena suatu
alasan) maka mereka sangat merasa bersalah dan langsung meminta maaf kepada
pihak keluarga yang mengundangnya. Karena menurut mereka itu adalah salah satu
kewajibannya terhadap sesama muslim yang harus dipenuhi. Sabda Rasul,
أَنَّ أَبَا
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ حَقُّ
الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ
الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ[6] (رواه البخاري)
Abu Hurairah ra.
berkata bahwa beliau mendengarkan dari Rasul SAW bersabda, “hak seorang muslim
terhadap seorang muslim yang lain adalah 5 perkara yaitu, menjawab salam,
menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, memenuhi undangan dan mendo’akan
orang bersin.(HR. Bukhari).
Ketika sampai di rumah darabaro, ketua rombongan
lintobaro memberikan salam dalam bentuk pantun-memantun yang saling
sahut-menyahut antara kedua belah pihak linto dan darabaro. Sabda Nabi,
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا
أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ
بَيْنَكُمْ[7] (رواه مسلم)
Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda, tidak akan kalian masuk
surga sehingga beriman dan tidak beriman kalian sehingga kalian saling
mencintai terhadap sesuatu. Apabila kalian melakukannya maka kalian telah saling
mencintai, oleh karena itu sebarkanlah salam di antara kamu.(HR. Muslim)
Setelah itu rombongan dan para tamu undangan
diterima dan diperlakukan dengan baik oleh pihak keluarga darabaro. Sabda Rasul
SAW,
Barang siapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhir maka hendaklah ia muliakan tamunya. (HR. Tirmizi)
Kemudian, linto dan darabaro dipeusijuek
(ditepung tawari). Hal itu dilakukan untuk menghormati adat nenek moyang. Dalam
peusijuek biasanya dibacakan do’a-do’a kesejahteraan, keselamatan, keharmonisan
dalam rumah tangga dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Firman Allah,
tA$s%ur ãNà6/u þÎTqãã÷$# ó=ÉftGór& ö/ä3s9 4 ¨bÎ) úïÏ%©!$# tbrçÉ9õ3tGó¡o ô`tã ÎAy$t6Ïã tbqè=äzôuy tL©èygy_ úïÌÅz#y ÇÏÉÈ
Dan Tuhanmu berfirman:
"Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya
orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka
Jahannam dalam keadaan hina dina".
Memang, peusijuek ini
bukanlah anjuran agama tetapi merupakan adat istiadat yang sudah mendarah
daging sejak zaman dahulu kala. Dan ini merupakan pengaruh dari agama hindu ketika
nenek moyang belum mengenal Islam. Oleh sebab itu peusijuek ini tidak boleh
dilupakan karena itu adalah salah satu warisan nenek moyang yang tidak
bertentangan dengan akidah.
[1]
Muliadi Kurdi, Aceh di Mata
Sejarawan, (Banda Aceh: LKAS, 2009), eds. I, Cet. I, hlm. 51.
[3]
Ibid, hlm. 22.
[4]
Ibid, hlm. 22.
[5] Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari,
juz 18, hlm. 361, nomor hadis 5513.
[7] Muslim bin Al-Hujjaj, Shahih Muslim,
juz I, hlm. 180, nomor hadis 81.
[8] Muhammad bin ‘Isa
bin Saurah Al-Tirmizi, Sunan Al-Tirmizi, juz 7, hlm. 231, nomor hadis
1890.