Senin, 05 Maret 2012

Budaya Walimah Aceh & Kelantan


BAB II
BUDAYA WALIMAH DI ACEH dan KELANTAN SERTA PENGARUH ISLAM DI DALAM KEDUANYA
A.    BUDAYA WALIMAH di ACEH dan PENGARUH ISLAM
1.      Walimah di Aceh
Walimah adalah pesta perkawinan yang dilakukan untuk mengumumkan bahwa sepasang insan telah menikah dan akan mengarungi hidup bersama dalam suka dan duka. Hal ini dilakukan oleh setiap penduduk di muka bumi baik muslim maupun non muslim.
Tidak diragukan lagi, bahwa setiap daerah mempunyai tatacara masing-masing. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Daerah Aceh mempunyai tatacara yang telah ada semenjak dahulu kala dan sampai saat ini masih ada budaya walimah tersebut.
Masyarakat Aceh dalam mengadakan pesta perkawinan ini sangat tergantung kepada kemampuan ekonomi. Jika ekonomi mendukung maka acara akan diselenggarakan secara meriah dan sebaliknya[1].
Untuk memudahkan dan mencepatkan urusan, orang tua calon darabaro mengundang Keuchik, Teungku Meunasah dan orang-orang tua kampung ke rumahnya untuk makan pada suatu malam sesudah shalat maghrib beberapa malam sebelum menerima linto. Sesudah makan, orang tua (ayah) atau wakilnya menerangkan maksudnya dan meukeureujanya (pesta perkawinan) pada hari dan malam yang telah ditentukan, memberi keterangan beberapa banyak tamu yang diundang, mulai jam berapa sampai jam berapa acara pesta perkawinan dilaksanakan[2].
Beberapa urusan pekerjaan yang bersangkutan dimintakan oleh ayah kepada mereka untuk membantu demi terselenggaranya acara pesta perkawinan tersebut. Misalnya, urusan penerimaan tamu, bagian masak-memasak, pencucian piring, penyajian makanan dan lain-lain yang diperlukan. Mau tidak mau mereka menerima pekerjaan itu. Mereka bertanggung jawab atas kebahagiaan dan ketentraman  kampungnya. Mereka dijamu makan lagi, sesudah urusan meukeureuja selesai semuanya[3].
Keuchik, Teungku Meunasah dan orang-orang tua yang bersangkutan itu boleh menunjuk orang-orang kampungnya yang tepat dan diperlukan masing-masing untuk urusan-urusan itu. Mereka tidak berberat hati untuk menerimanya, karena mereka sadar bahwa kelak mereka akan mengalami yang demikian[4].
Penerimaan tamu pria dilakukan oleh ayah darabaro, Teungku Imam, dan Keuchik serta orang-orang tua kampung setempat dan para tamunya ditempatkan di serambi depan rumah atau di tempat darurat yang disebut “seueng” atau tenda.
Penerimaan tamu wanita dilakukan oleh wanita sendiri dan dahulu ditempatkan di serambi belakang rumah yang bersangkutan, namun sekarang dimana-mana di dalam rumah.
Seluruh para undangan dihidangkan makanan yang enak dalam wadah talam. Namun sekarang tidak lagi dengan hidangan tetapi mengambil sendiri makanan yang telah tersedia di tempat persediaan makanan atau istilah sekarang sistem ini dikenal dengan sistem prasmanan (sistem layan diri).
Biasanya, walimatul urusy itu berlangsung selama satu hari, kira-kira pukul 3 sore hari selesai acara tersebut. Terkadang tamu yang jauh agak terlambat menghadiri acara itu. Namun tuan rumah juga menyantuni tamu tersebut dengan baik pula.
Tamu yang menghadiri pesta perkawinan itu biasanya tidak ada yang datang  dengan tangan kosong. Mereka semua memberikan sumbangan (teumeuntuek) menurut kemampuan masing-masing. Teumeuntuek ini dinamakan dengan “Adat Muqabalah” yang maksudnya adalah adat saling berbalas. Suami-Istri yang menjadi tamu harus menyumbang masing-masing, tidak boleh digabungkan. Namun sekarang sebagai sumbangan, ada juga yang memberikan barang, misalnya seperti kain, pecah-belah, dan sebagainya. Barang-barang yang dibawakan tersebut dibungkus rapi atau dengan kata lain sekarang disebut “Kado” dan dituliskan nama dari siapa datangnya.
Para tamu yang diundang untuk menghadiri pesta perkawinan tersebut biasanya terdiri dari  sahabat-sahabat, kenalan-kenalan yang dekat dan jauh, ahli waris atau famili jauh dari pihak linto.
Sebelum meukeureuja (pesta perkawinan), famili terdekat memberikan sumbangan untuk keperluan acara pesta baik berupa uang maupun berupa barang seperti binatang ternak, beras, sayur mayur dan lain-lain.
Ketika hari acara pesta linto dan darabaro mengenakan pakaian adat Aceh. Pakaiannya dibuat khusus untuk dipakai oleh pengantin baru, tidak sama seperti baju biasa. Warna pakaian yang digunakan warna kuning emas dan warna hitam.
2.      Pengantaran Linto (antat linto)
Setelah linto (mempelai laki-laki) meminta izin kepada orang tua dan saudara-saudaranya semua maka dituntun oleh beberapa orang tua untuk turun dari tangga rumahnya. Begitu sampai di bawah, orang tua itu mengucapkan “Allahumma Shalli ‘Ala Muhammad”. Para hadirin yang akan mengantarkan linto menyahut “Shallu ‘Alaih” dengan nada semangat dan diulangi sampai 3 kali sambil menempatkan lintonya di tengah-tengah para pengantarnya.
Para pengantarnya terbatas sesuai dengan hasil kesepakatan pihak darabaro dan pihak lintobaro. Hal ini biasanya didasarkan pada keuangan dari orang tua pihak darabaro, karena orang Aceh tidak mengenal uang hangus yang khusus digunakan untuk acara pesta.
Dalam pengantaran ini, lintobaro membawa oleh-oleh untuk darabaronya berupa barang. Misalnya seperti kain sarung, pakaian baik dalam maupun luar, seperangkat alat shalat, makanan, kue-kue dan lain sebagainya.
Ketika tiba di pekarangan rumah darabaro, mereka menyimpan linto di belakang mereka dan ketua rombongan akan berbicara dengan orang yang menyambut kedatangan mereka sambil berpantun-memantun yang saling sahut-menyahut antara kedua belah pihak. Setelah itu, barulah penyambut memberikan sirih kepada para tamunya sebagai tanda suatu kehormatan.
Ketika linto sudah sampai di pintu rumah darabaro, seorang perempuan tua mempeusijueknya (menepung tawari) sambil membaca beberapa patah do’a yang isinya meminta kepada Allah agar menyejahterakan linto tersebut. Setelah itu barulah linto beserta rombongan dimasukan ke dalam rumah untuk mencicipi makanan yang telah dihidangkan.
Sesudah mencicipi hidangan, linto dipersilakan untuk menduduki pelaminan dan duduk bersanding dengan darabaro yang telah dihias begitu cantik dan elok dipandang mata. Di persandingan tersebut, mereka berdua dipeusijuek lagi oleh orang tua yang lain.
Setelah acara persandingan selesai maka dilakukan pula acara Seuneumah, yaitu linto baro mengadakan sembah (sungkem) kepada kedua orang tua darabaro dan kerabatnya.
Pada acara tueng darabaro (penerimaan darabaro) juga demikian dilakukan.
3.      Pengaruh Islam dalam Adat Walimah Aceh
Jika kita kaji lebih mendalam, maka pengaruh keislamannya akan kita dapati sangat banyak dan besar. Mulai dari turunnya seorang linto dari rumahnya sudah jelas di sana terdapat pengaruh islam begitu besar, yaitu, linto meminta izin kepada kedua orang tuanya beserta saudara-saudaranya. Sebagaimana firman Allah:
4Ó|Ós%ur y7/u žwr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$­ƒÎ) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7tƒ x8yYÏã uŽy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdŸxÏ. Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ
Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS. Al-Isra’: 23)
Hadis Rasulullah,
صَاحِبُ هَذِهِ الدَّارِ وَأَوْمَأَ بِيَدِهِ إِلَى دَارِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ[5] (رواه البخاري)
Seorang shahabat datang kepada Rasul dan bertanya, pekerjaan apa yang paling dicintai Allah? Rasul bersabda, shalat tepat pada waktunya, shahabat bertanya lagi, kemudian apa? Rasul bersabda, berbuat baik kepada kedua ibu bapak, shahabat bertanya lagi, kemudian apa? Rasul bersabda, bersungguh-sungguh di jalan Allah. (H.R. Bukhari)
Kemudian ketika menyemarakkan dengan kata-kata selawat ke atas Nabi, itu juga pengaruh Islam. Firman Allah,
¨bÎ) ©!$# ¼çmtGx6Í´¯»n=tBur tbq=|Áムn?tã ÄcÓÉ<¨Z9$# 4 $pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#q=|¹ Ïmøn=tã (#qßJÏk=yur $¸JŠÎ=ó¡n@ ÇÎÏÈ
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.(QS. Al-Ahzab: 56)
Semua tamu yang diundang dengan senang hati memenuhi undangan tersebut. Kalau mereka tidak memenuhinya (karena suatu alasan) maka mereka sangat merasa bersalah dan langsung meminta maaf kepada pihak keluarga yang mengundangnya. Karena menurut mereka itu adalah salah satu kewajibannya terhadap sesama muslim yang harus dipenuhi. Sabda Rasul,
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ[6] (رواه البخاري)
Abu Hurairah ra. berkata bahwa beliau mendengarkan dari Rasul SAW bersabda, “hak seorang muslim terhadap seorang muslim yang lain adalah 5 perkara yaitu, menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, memenuhi undangan dan mendo’akan orang bersin.(HR. Bukhari).
Ketika sampai di rumah darabaro, ketua rombongan lintobaro memberikan salam dalam bentuk pantun-memantun yang saling sahut-menyahut antara kedua belah pihak linto dan darabaro. Sabda Nabi,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ[7] (رواه مسلم)
Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda, tidak akan kalian masuk surga sehingga beriman dan tidak beriman kalian sehingga kalian saling mencintai terhadap sesuatu. Apabila kalian melakukannya maka kalian telah saling mencintai, oleh karena itu sebarkanlah salam di antara kamu.(HR. Muslim)
Setelah itu rombongan dan para tamu undangan diterima dan diperlakukan dengan baik oleh pihak keluarga darabaro. Sabda Rasul SAW,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ[8] (رواه الترمذي)
Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia muliakan tamunya. (HR. Tirmizi)
Kemudian, linto dan darabaro dipeusijuek (ditepung tawari). Hal itu dilakukan untuk menghormati adat nenek moyang. Dalam peusijuek biasanya dibacakan do’a-do’a kesejahteraan, keselamatan, keharmonisan dalam rumah tangga dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Firman Allah,
tA$s%ur ãNà6š/u þÎTqãã÷Š$# ó=ÉftGór& ö/ä3s9 4 ¨bÎ) šúïÏ%©!$# tbrçŽÉ9õ3tGó¡o ô`tã ÎAyŠ$t6Ïã tbqè=äzôuy tL©èygy_ šúï̍Åz#yŠ ÇÏÉÈ
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina".
Memang, peusijuek ini bukanlah anjuran agama tetapi merupakan adat istiadat yang sudah mendarah daging sejak zaman dahulu kala. Dan ini merupakan pengaruh dari agama hindu ketika nenek moyang belum mengenal Islam. Oleh sebab itu peusijuek ini tidak boleh dilupakan karena itu adalah salah satu warisan nenek moyang yang tidak bertentangan dengan akidah.



[1] Muliadi Kurdi, Aceh di Mata Sejarawan, (Banda Aceh: LKAS, 2009), eds. I, Cet. I, hlm. 51.
[2] Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, (Banda Aceh: Dinas PK DI. Aceh, 1970), cet. I, hlm. 21.
[3] Ibid, hlm. 22.
[4] Ibid, hlm. 22.
[5] Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, juz 18, hlm. 361, nomor hadis 5513.
[6] Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, juz 4, hlm. 461, nomor hadis 1164.
[7] Muslim bin Al-Hujjaj, Shahih Muslim, juz I, hlm. 180, nomor hadis 81.
[8] Muhammad bin ‘Isa bin Saurah Al-Tirmizi, Sunan Al-Tirmizi, juz 7, hlm. 231, nomor hadis 1890.

Adat Meminang Di Aceh & Kelantan


PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Timbulnya adat meminang Di aceh dan klantan hingga dewasa ini tidak terlepas dari syariat islam, namun dalam masyarakat luas timbul bermacam-macam pertanyaan mengenai adat dan budaya bertentangan atau tidak, atau lebih jelasnya pertanyaan tersebut merujuk kepada syiar islam itu sendiri.
Disini perlu kita tinaju bahwa sanya ketrekaitan masyarakat dengan adat istiadat tidak dapat dipisahkan, karena suatu adat atau budaya bukan hanya dialami oleh seorang individu saja, akan tetapi juga dirasakan universal, baik di desa, daerah atau negara, tujuannya hanya agar manusia saling mengenal satu sama lain dalam perbedaan budaya, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Qs. Al-Hujarat : 13)

Pada dasarnya jika dilihat secara lahiriah ada beberapa persamaan dengan syariah pada dua daerah ini, yaitu aceh dan klantan (malaisia), sehingga dapat terbentuknya budaya yang humoris serta disambut oleh masyarakat setempat dan mempunyai unsur-unsur dan nilai-nilai islami.
B.        Indentifikasi
Kitidak tahuan masyarakat mengenai peranan syariat dalam budaya, akan mengakibatkan beberapa tradisi penyimpangan pada beberapa wilayah, dikarenakan pengatahuan mistis dari cerita yang tidak ada asal mulanya serta  tahalul-tahalul yang membawa kepada kesyirikan, dan menomor duakan agama yang haq, Seperti meminta restu pada dukun, batu-batu dan pohon-pohon  agar membuat jampi-jampi atau jimat agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam masa peminangan sampai ke pelaminan, secara tidak sadar hal ini telah menjadi budaya dan tradisi yang menyimpang.
Seharusnya budaya tunduk dibawah syariah, dengan demikian akan terbentuk keluarga sakinah, mawaddah warahmah serta masyarakat yang harmonis.
C.        Rumusan masalah
Dalam budaya meminang adat-istiadat aceh dan klantan mempunyai kesamaan serta penyusaian dengan syiar agama  yang signifikan tentunya dengan  cara-cara dan adab-adab yang telah disesuaikan oleh orang-orang orang terdahulu, maka dari sini kami
1.         Apa hubungan persamaan adat peminang adat aceh dengan klantan
2.       Bagaimana kaitan positive yang ada pada adat meminang budaya aceh dan klantan
3.       Apa faeadah dari adat peminangan tersebut
4.       Pakah Hasil dari peminangan melayu dan aceh.




BAB II
ADAT MEMINANG ACEH DAN KLANTAN
I ADAT MEMILIH JODOH
                Menurut pola pemikiran masyarakat Aceh, pilihan jodoh ini adalah merupkan kegiatan-kegiatan dari pihak laki-laki. Dengan lain perkataan inisiatif pemiloihan jodoh boleh dikatakan tak pernah datang dari pihak perempuan. Andai kata terjadi juga mesti dilakukan dengan cara yang sangat rahasia, misalnya dengan perantaraan pihak ketiga yang dipercaya dan dapat menyampaikan rahasia, sebab kalau hal ini diketahui umum pasti menimbulkan ocehan-ocehan yang memalukan. Ocehan tersebut seperti terlukis dalam kiasan, “Lagee mon mita tima“, atau seperti sumur menacri timba. Maksud kiasan ini ialah seperti perempuan mencari suami.
Kegiatan-kegiatan dalam memilih jodoh antara lain adalah duek pakat yang berarti musyawarah atau tukar pikiran antara orang tua pemuda dengan kaum kerabatnya yang terdekat dalam masalah :
a.    Menentukan  gadis yang mana yang sesuai untuk menjadi calon isteri anaknya
b.    Menetukan siapa yang menjadi teulangke (urusan) yang menghubungi pihak keluarga calon istri
c.     Menentukan hari dan tanggal utusan itu akan mengadakan kontak pertama dengan keluarga calon istri.
Kegiatan-kegiatan itu dilaksanakan tanpa dihindari oleh anaknya atau pemuda yang akan dikawin. Menurut adat dan upacara perkawinan diwaktu yang lampau pemilihan jodoh ini, dilakukan orang tua tanpa pengatahuan anaknya yang bersangkutan. Bahkan sering terjadi sebelum anak laki-laki itu dewasa, orang tuanya telah merencanakan anak gadis yang mana akan menjadi calon teman hidup anaknya nanti. Dengan demikian dapatlah digambarkan fungsi seorang anak dalam hal itu sangat tidak menentukan dalam pemilihan jodoh ini. Karena menurut konsep masyarakat aceh, anak atau pemuda, suatu keluarga batih dan kaum kerabat kedua belah pihak dapat mempertimbangkan mengenai calon menantunya. Pertimabangan tersebut antara lain, agar keluarga calon menantunya sekurang-kurangnya sederajat dengan dia, baik ditinjau dari sudut stratifikasi sosial maupun maupun dari sudut ekonomi. Pokok pikiran lain yang mempunyai nilai tersendiri dalam masyrakat Aceh, adalah bahwa kelihatannya pihak perempuan masih cenderung memilih (menerima) calon menantunya adalah orang Aceh asli. Karena menurut pendapat mereka kalau anak gadisnya, kawin dengan orang luar daerah, nanti akan dibawa merantau, bahkan keluarganya juga menjadi pertimbangan.
Cara pemilihan jodoh yang berlaku dalam masyarakat adat aceh dewasa ini memang dirasakan kurang memberi kesempatan kepada kedua calon suami istri sebagai pihak-pihak yang berkepentingan dalam perkawinan mereka nanti. Sesuai dengan perkembangan masyarakat adat aceh sekarang, maka telah terjadi pula perubahan-perubahan dalam tata cara memilih jodoh, sehingga dalam masyarakat aceh dewasa ini terdapat dua pola tata cara pemilihan jodoh :
Pertama, dilakukan oleh orang tua atas persetujuan anaknya
Kedua, pemilihan itu dilakukan sendiri oleh pemuda yang bersangkutan, yang kemudian yang diminta persetujuan orang tuanya. Pola pertama terdapat dalam masyarakat adat yang masih murni, yang belum terpengaruh dengan sifat sifat masyarakat “urban” (kota). Keputusan akhir dari pola pertama ini masih lebih dalam masyarakat yang telah menerima pengaruh-pengaruh perkotaan. Pengaruh ini telah menyusup sampai kedesa-desa, sebagai akibat perkembangan teknologi pendidikan ke desa-desa, sebagai akibat perkembangan teknologi dan pendidikan modrn, berbagai media telah tersedia yang memungkinkan pertemuan tau perkenalan muda-mudi. Keputusan terakhir menurut pola ini berada pada kedua belah pihak yang nantinya terlibat dalam perklawinan yaitu pemuda dan pemudi.
A.        Upacara adat meminang
Setelah duek pakat (mufakat) menghasilkan suatu keputusan yang bulat dalam menentukan gadis mana yang dipinang, mulailah dilaksanakan langkah kedua. Dalam langkah kedua seorang utusan yang disebut “teulangke”, atau utusan tuiha pengampee (tamiang), mulai aktif. Dengan segala kecakapan dan kebijaksanaan teulangke itu menyampaikan maksud kedatangannya kepada orang tua si gadis yang kan dipinang. Tugas teulangke yang pertama ialah “cah rauet atau merintis jalan, merisiok (anek jamee), yang merupakan penjajakan kepad orang tua si gadis utuk mengatahui hal-ihwal anak gadisnya.
Jika ternyata bahwa gadis tersebut masih bebas, sebelum ada yang punyai, barulah ia menyampaikan bahwa kedatangannya itu adalah utusan dari keluarga atau orang tua pemuda, yang bermaksud melamar meski pun lamaran tersebut pada prinsipnya diterima oleh orang tua si gadis, tetapi jawabannya tidak diberikan hari itu juga. Pokok pikiran yang terkandung dari penangguhan jawaban ini, selain bermupakat dengan sanak saudaranya yang terdekat adalah agar tidak terlalu nampak kegembiraannya kepada pihak keluarga dan sanak saudara laki-laki atau untuk menjga prestasenya
Sebaliknya andai kata pihak lamaran laki-laki itu ditolak, penolakan itu dilakukan dengan cara yang halus agar pihak keluarga laki-laki tidak tersinggung. Penolakan itu biasanya dengan alasan, belum bermaksud mengawinkan anak gadisnya karena masih sekolah atau alasan alasan lainnya. Sirih memiliki peranan penting dalam upacara-upacara  adat. Sirih adalah sebagai lambang perkenalan, persahabatan dan  persaudaraan. Bahkan denga sirih ini dapat diketahui apakah lamaran tersebut ditolak atau diterima.
Menurut kepercayaan masyarakat adat aceh bahwa dalam masa (tenggang waktu)  antara lamaranpi dan memberi jawaban, orang tua si gadis akan mimpi, kalau mimpinay baik, cerana atau tampak sirih kosong  dikembalikan adalah cerana yang penuh berisi sirih didalamnya. Hal ini berarti lamaran pihak laki-laki ditolak atau tidak diterima.
Selain dari pada sirih ada juga penganan-penganan yang dibawa oleh tuelengke, adalah berfungsi sebagai “bungoeng jaro” maksudnya tuelangke yang datang untuk melamar itu jangan datang dengan tangan kosong saja, ataupun untuk  menghormati keluarga pihak perempuan. Kalau lamaran itu diterima, tugas teulangke selanjutnya mengadakan “intat tanda” (antar tanda) atau tukar cincin. Pada saat tukar cicin itu juga dibicarakan, mas kawin kapan waktunya perkaiwinan akan dilaksanakan dan yang lain-lain yang berhubungan perkawinan itu. Tanda yang sering disebut tanda “konkrit” dalam masyarakat Aceh, berfungsi sebagai pengikat dan pemancang, maksudnya si gadis telah terikat atau telah ada yang punya.
Sebagai tanda kong narit biasanya sebentuk cincin dari emas, selain tanda yang juga ikut dibawa : Kin baju, kain panjang,selaendang, bedak, sabun, dan penggunaan-penggunaan. Untuk memperkecil terjadinya pelanggaran dari pertunangan itu, adat menetapkan sanksinya. Kalau pihak laki-laki yang melanggar, maka tanda dan barang itu hilang. Sebaliknya jika pihak perempuan yang melanggar janji, tanda barang-barang bawaan lain itu harus di kembalikan dua kali lipat.
Setelah selesai semua upacara pertunangan, kedua belah pihak masing-masing mengadakan persiapan-persiapn persiapan untuk perkawinan.
Masa atau tenggang waktu antara selesai pertunangan samapi dengna perkawinan dilaksanakan disebut masa pertunangan. Dalam masa pertunangan ini masing-masing wanita dan pria, harus mengatasi pergaulannya denga wanita lain. Dan sebaliknya seoranga gadis yang berada dalam masa pertunangan harus membatasi diri dalam pergaulan dengan teman pria lain. Karena itu biasanya seorang gadis yang berada dalam masa pertunangan ini menetapakan penjagaan ketat dari orang tuanya. Hal ini dilakukan demi menghindari hasutan dan fitnahan dari pihak ketiga. Dan juga dimaksudkan untuk menjahui anak gadisnya dari godaan-godaan pemuda lain. Karena itu seorang gadis yang sedang dalam masa pertunangan ini mendapat penjagaan ketat dari orang tuanya. Hal ini dilakukan dami menghindari hasutan dan fitnahan dari pihak ketiga. Dan juga dimaksudkan untuk menjahui anak gadisnya dari golongan peuda-pemuda lain.
Dalam masyarakat pedesaaan belum menerima pengaruh kota, dalam masa pertunangan ini belum belum dibolehkan bagi pemuda/pemudi untuk bergaul secara akrab dengan tunangannya. Bahkan kalau kebutulan berselisih dijalan mereka malu bertegu sapa, apa lagi bersenda gurau, piknik atau nonton bersama. Tetapi biarpun demikian masa pertunangan itu merupakan masa yang paling sensitif bagi kedua belah pihak. Karena itu mereka harus saling membatasi dirinya bergaul dengan teman-teman lawan jenisnya.
Sedang bagi masyarakat Aceh yang telah menerima pengaruh-pengaruh kota, dimana memilih jodoh di lakukan sekurang-kurangnya atas persetujuan mereka berdua, masa pertunangan ini adalah masa pemupukan kasih sayang mereka. Tetapai pembangunan yang tepat dilakukan dlam segala bidang dewasa ini, membawa pengaruh-pengaruh yang besar terhadap pola pikiran masyarakat adat aceh. Moderenisasi membawa perubahan-perubahan samapi kepada nilai-nilai adat dan upacara perkawinan
Konsep pemikiran masyarakat adat aceh dewasa ini cenderung untuk mencapai nilai-nilai yang praktis, tanpa mengabaikan niali-nilai adat. Sehingga massa pertunangan tidaklah lagi merupakan intip mengintip, melainkan masa melakukan pendekatan-pendekatandan penyusuaian kearah terpadunya suatu ikatan lahir bathin antara dua makhluk yang berlainan jenis. Demikian juga proses pemeningan yang berbelit-belit, dinilai masyarakat kurang praktis, sehingga sekarang ini nampaknya cenderung berubah kearah yang lebih sederhana. 


Minggu, 04 Maret 2012

FII SABILILLAH



Sejarah Mushalla Azh Zhilal:
Mushalla Azh Zhilal Fakultas Ushuluddin IAIN Ar Raniry merupakan sebuah organisasi dakwah yang mengkhususkan diri pada bidang aqidah, pemikiran, study Qur’an dan Hadist, counter liberalisme, aliran-aliran keagamaan dan harakah. Pada awalnya Mushalla Az Zhilal merupakan sekelompok kajian atau diskusi keislaman mahasiswa(i) Fakultas Ushuluddin yang kemudian merasa urgen atau pentingnya berdiri dalam satu organisasi yang teratur. Akhirnya, niat tersebut disampaikan kepada pihak Dekanan Fakultas Ushuluddin yang menyambut baik berdirinya Mushalla Az Zhilal. Nama Az Zhilal sendiri yang berarti “NAUNGAN” menjadi harapan para pendiri agar hendaknya dakwah Az Zhilal menuju kepada dakwah Qur’ani.

Visi Mushalla Az Zhilal:
  • Aplikasi nilai-nilai Islam di kampus dan sekitarnya.
  • Amar ma’ruf nahi munkar.
  • Mengembangkan kerjasama, koordinasi, komunikasi, integrasi, dan persaudaraan antar seluruh elemen mahasiswa IAIN.
  • Memberikan kontribusi positif bagi penyelesaian masalah-masalah di kampus IAIN.

Misi Mushalla Az Zhilal:
  • Menjadi unsur perekat kesatuan gerak mahasiswa.
  • Menjadi wadah dakwah di lingkungan kampus.
  • Melakukan program pengembangan SDM dan kaderisasi yang lebih terstruktur, terkontrol agar terbentuk pribadi-pribadi muslim yang selaras dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
  • Melakukan amal khadami (pelayanan) kepada segenap civitas akademika.




Karakteristik Mushalla Az Zhilal:
  • Siddiq, berkomitmen teguh untuk menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagi indikator kebenaran.
  • Tabligh, berkomitmen untuk menyampaikan kebenaran pada siapapun dan dimanapun.
  • Amanah, berkomitmen untuk mengemban tugas dan risalah kenabian hingga akhir hayat sebagai bentuk amanah manusia di muka bumi.
  • Fathanah, berkomimen untuk menyampaikan kebenaran dengan cara himah dan pelajaran yang baik.