Senin, 05 Maret 2012

Adat Meminang Di Aceh & Kelantan


PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Timbulnya adat meminang Di aceh dan klantan hingga dewasa ini tidak terlepas dari syariat islam, namun dalam masyarakat luas timbul bermacam-macam pertanyaan mengenai adat dan budaya bertentangan atau tidak, atau lebih jelasnya pertanyaan tersebut merujuk kepada syiar islam itu sendiri.
Disini perlu kita tinaju bahwa sanya ketrekaitan masyarakat dengan adat istiadat tidak dapat dipisahkan, karena suatu adat atau budaya bukan hanya dialami oleh seorang individu saja, akan tetapi juga dirasakan universal, baik di desa, daerah atau negara, tujuannya hanya agar manusia saling mengenal satu sama lain dalam perbedaan budaya, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Qs. Al-Hujarat : 13)

Pada dasarnya jika dilihat secara lahiriah ada beberapa persamaan dengan syariah pada dua daerah ini, yaitu aceh dan klantan (malaisia), sehingga dapat terbentuknya budaya yang humoris serta disambut oleh masyarakat setempat dan mempunyai unsur-unsur dan nilai-nilai islami.
B.        Indentifikasi
Kitidak tahuan masyarakat mengenai peranan syariat dalam budaya, akan mengakibatkan beberapa tradisi penyimpangan pada beberapa wilayah, dikarenakan pengatahuan mistis dari cerita yang tidak ada asal mulanya serta  tahalul-tahalul yang membawa kepada kesyirikan, dan menomor duakan agama yang haq, Seperti meminta restu pada dukun, batu-batu dan pohon-pohon  agar membuat jampi-jampi atau jimat agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam masa peminangan sampai ke pelaminan, secara tidak sadar hal ini telah menjadi budaya dan tradisi yang menyimpang.
Seharusnya budaya tunduk dibawah syariah, dengan demikian akan terbentuk keluarga sakinah, mawaddah warahmah serta masyarakat yang harmonis.
C.        Rumusan masalah
Dalam budaya meminang adat-istiadat aceh dan klantan mempunyai kesamaan serta penyusaian dengan syiar agama  yang signifikan tentunya dengan  cara-cara dan adab-adab yang telah disesuaikan oleh orang-orang orang terdahulu, maka dari sini kami
1.         Apa hubungan persamaan adat peminang adat aceh dengan klantan
2.       Bagaimana kaitan positive yang ada pada adat meminang budaya aceh dan klantan
3.       Apa faeadah dari adat peminangan tersebut
4.       Pakah Hasil dari peminangan melayu dan aceh.




BAB II
ADAT MEMINANG ACEH DAN KLANTAN
I ADAT MEMILIH JODOH
                Menurut pola pemikiran masyarakat Aceh, pilihan jodoh ini adalah merupkan kegiatan-kegiatan dari pihak laki-laki. Dengan lain perkataan inisiatif pemiloihan jodoh boleh dikatakan tak pernah datang dari pihak perempuan. Andai kata terjadi juga mesti dilakukan dengan cara yang sangat rahasia, misalnya dengan perantaraan pihak ketiga yang dipercaya dan dapat menyampaikan rahasia, sebab kalau hal ini diketahui umum pasti menimbulkan ocehan-ocehan yang memalukan. Ocehan tersebut seperti terlukis dalam kiasan, “Lagee mon mita tima“, atau seperti sumur menacri timba. Maksud kiasan ini ialah seperti perempuan mencari suami.
Kegiatan-kegiatan dalam memilih jodoh antara lain adalah duek pakat yang berarti musyawarah atau tukar pikiran antara orang tua pemuda dengan kaum kerabatnya yang terdekat dalam masalah :
a.    Menentukan  gadis yang mana yang sesuai untuk menjadi calon isteri anaknya
b.    Menetukan siapa yang menjadi teulangke (urusan) yang menghubungi pihak keluarga calon istri
c.     Menentukan hari dan tanggal utusan itu akan mengadakan kontak pertama dengan keluarga calon istri.
Kegiatan-kegiatan itu dilaksanakan tanpa dihindari oleh anaknya atau pemuda yang akan dikawin. Menurut adat dan upacara perkawinan diwaktu yang lampau pemilihan jodoh ini, dilakukan orang tua tanpa pengatahuan anaknya yang bersangkutan. Bahkan sering terjadi sebelum anak laki-laki itu dewasa, orang tuanya telah merencanakan anak gadis yang mana akan menjadi calon teman hidup anaknya nanti. Dengan demikian dapatlah digambarkan fungsi seorang anak dalam hal itu sangat tidak menentukan dalam pemilihan jodoh ini. Karena menurut konsep masyarakat aceh, anak atau pemuda, suatu keluarga batih dan kaum kerabat kedua belah pihak dapat mempertimbangkan mengenai calon menantunya. Pertimabangan tersebut antara lain, agar keluarga calon menantunya sekurang-kurangnya sederajat dengan dia, baik ditinjau dari sudut stratifikasi sosial maupun maupun dari sudut ekonomi. Pokok pikiran lain yang mempunyai nilai tersendiri dalam masyrakat Aceh, adalah bahwa kelihatannya pihak perempuan masih cenderung memilih (menerima) calon menantunya adalah orang Aceh asli. Karena menurut pendapat mereka kalau anak gadisnya, kawin dengan orang luar daerah, nanti akan dibawa merantau, bahkan keluarganya juga menjadi pertimbangan.
Cara pemilihan jodoh yang berlaku dalam masyarakat adat aceh dewasa ini memang dirasakan kurang memberi kesempatan kepada kedua calon suami istri sebagai pihak-pihak yang berkepentingan dalam perkawinan mereka nanti. Sesuai dengan perkembangan masyarakat adat aceh sekarang, maka telah terjadi pula perubahan-perubahan dalam tata cara memilih jodoh, sehingga dalam masyarakat aceh dewasa ini terdapat dua pola tata cara pemilihan jodoh :
Pertama, dilakukan oleh orang tua atas persetujuan anaknya
Kedua, pemilihan itu dilakukan sendiri oleh pemuda yang bersangkutan, yang kemudian yang diminta persetujuan orang tuanya. Pola pertama terdapat dalam masyarakat adat yang masih murni, yang belum terpengaruh dengan sifat sifat masyarakat “urban” (kota). Keputusan akhir dari pola pertama ini masih lebih dalam masyarakat yang telah menerima pengaruh-pengaruh perkotaan. Pengaruh ini telah menyusup sampai kedesa-desa, sebagai akibat perkembangan teknologi pendidikan ke desa-desa, sebagai akibat perkembangan teknologi dan pendidikan modrn, berbagai media telah tersedia yang memungkinkan pertemuan tau perkenalan muda-mudi. Keputusan terakhir menurut pola ini berada pada kedua belah pihak yang nantinya terlibat dalam perklawinan yaitu pemuda dan pemudi.
A.        Upacara adat meminang
Setelah duek pakat (mufakat) menghasilkan suatu keputusan yang bulat dalam menentukan gadis mana yang dipinang, mulailah dilaksanakan langkah kedua. Dalam langkah kedua seorang utusan yang disebut “teulangke”, atau utusan tuiha pengampee (tamiang), mulai aktif. Dengan segala kecakapan dan kebijaksanaan teulangke itu menyampaikan maksud kedatangannya kepada orang tua si gadis yang kan dipinang. Tugas teulangke yang pertama ialah “cah rauet atau merintis jalan, merisiok (anek jamee), yang merupakan penjajakan kepad orang tua si gadis utuk mengatahui hal-ihwal anak gadisnya.
Jika ternyata bahwa gadis tersebut masih bebas, sebelum ada yang punyai, barulah ia menyampaikan bahwa kedatangannya itu adalah utusan dari keluarga atau orang tua pemuda, yang bermaksud melamar meski pun lamaran tersebut pada prinsipnya diterima oleh orang tua si gadis, tetapi jawabannya tidak diberikan hari itu juga. Pokok pikiran yang terkandung dari penangguhan jawaban ini, selain bermupakat dengan sanak saudaranya yang terdekat adalah agar tidak terlalu nampak kegembiraannya kepada pihak keluarga dan sanak saudara laki-laki atau untuk menjga prestasenya
Sebaliknya andai kata pihak lamaran laki-laki itu ditolak, penolakan itu dilakukan dengan cara yang halus agar pihak keluarga laki-laki tidak tersinggung. Penolakan itu biasanya dengan alasan, belum bermaksud mengawinkan anak gadisnya karena masih sekolah atau alasan alasan lainnya. Sirih memiliki peranan penting dalam upacara-upacara  adat. Sirih adalah sebagai lambang perkenalan, persahabatan dan  persaudaraan. Bahkan denga sirih ini dapat diketahui apakah lamaran tersebut ditolak atau diterima.
Menurut kepercayaan masyarakat adat aceh bahwa dalam masa (tenggang waktu)  antara lamaranpi dan memberi jawaban, orang tua si gadis akan mimpi, kalau mimpinay baik, cerana atau tampak sirih kosong  dikembalikan adalah cerana yang penuh berisi sirih didalamnya. Hal ini berarti lamaran pihak laki-laki ditolak atau tidak diterima.
Selain dari pada sirih ada juga penganan-penganan yang dibawa oleh tuelengke, adalah berfungsi sebagai “bungoeng jaro” maksudnya tuelangke yang datang untuk melamar itu jangan datang dengan tangan kosong saja, ataupun untuk  menghormati keluarga pihak perempuan. Kalau lamaran itu diterima, tugas teulangke selanjutnya mengadakan “intat tanda” (antar tanda) atau tukar cincin. Pada saat tukar cicin itu juga dibicarakan, mas kawin kapan waktunya perkaiwinan akan dilaksanakan dan yang lain-lain yang berhubungan perkawinan itu. Tanda yang sering disebut tanda “konkrit” dalam masyarakat Aceh, berfungsi sebagai pengikat dan pemancang, maksudnya si gadis telah terikat atau telah ada yang punya.
Sebagai tanda kong narit biasanya sebentuk cincin dari emas, selain tanda yang juga ikut dibawa : Kin baju, kain panjang,selaendang, bedak, sabun, dan penggunaan-penggunaan. Untuk memperkecil terjadinya pelanggaran dari pertunangan itu, adat menetapkan sanksinya. Kalau pihak laki-laki yang melanggar, maka tanda dan barang itu hilang. Sebaliknya jika pihak perempuan yang melanggar janji, tanda barang-barang bawaan lain itu harus di kembalikan dua kali lipat.
Setelah selesai semua upacara pertunangan, kedua belah pihak masing-masing mengadakan persiapan-persiapn persiapan untuk perkawinan.
Masa atau tenggang waktu antara selesai pertunangan samapi dengna perkawinan dilaksanakan disebut masa pertunangan. Dalam masa pertunangan ini masing-masing wanita dan pria, harus mengatasi pergaulannya denga wanita lain. Dan sebaliknya seoranga gadis yang berada dalam masa pertunangan harus membatasi diri dalam pergaulan dengan teman pria lain. Karena itu biasanya seorang gadis yang berada dalam masa pertunangan ini menetapakan penjagaan ketat dari orang tuanya. Hal ini dilakukan demi menghindari hasutan dan fitnahan dari pihak ketiga. Dan juga dimaksudkan untuk menjahui anak gadisnya dari godaan-godaan pemuda lain. Karena itu seorang gadis yang sedang dalam masa pertunangan ini mendapat penjagaan ketat dari orang tuanya. Hal ini dilakukan dami menghindari hasutan dan fitnahan dari pihak ketiga. Dan juga dimaksudkan untuk menjahui anak gadisnya dari golongan peuda-pemuda lain.
Dalam masyarakat pedesaaan belum menerima pengaruh kota, dalam masa pertunangan ini belum belum dibolehkan bagi pemuda/pemudi untuk bergaul secara akrab dengan tunangannya. Bahkan kalau kebutulan berselisih dijalan mereka malu bertegu sapa, apa lagi bersenda gurau, piknik atau nonton bersama. Tetapi biarpun demikian masa pertunangan itu merupakan masa yang paling sensitif bagi kedua belah pihak. Karena itu mereka harus saling membatasi dirinya bergaul dengan teman-teman lawan jenisnya.
Sedang bagi masyarakat Aceh yang telah menerima pengaruh-pengaruh kota, dimana memilih jodoh di lakukan sekurang-kurangnya atas persetujuan mereka berdua, masa pertunangan ini adalah masa pemupukan kasih sayang mereka. Tetapai pembangunan yang tepat dilakukan dlam segala bidang dewasa ini, membawa pengaruh-pengaruh yang besar terhadap pola pikiran masyarakat adat aceh. Moderenisasi membawa perubahan-perubahan samapi kepada nilai-nilai adat dan upacara perkawinan
Konsep pemikiran masyarakat adat aceh dewasa ini cenderung untuk mencapai nilai-nilai yang praktis, tanpa mengabaikan niali-nilai adat. Sehingga massa pertunangan tidaklah lagi merupakan intip mengintip, melainkan masa melakukan pendekatan-pendekatandan penyusuaian kearah terpadunya suatu ikatan lahir bathin antara dua makhluk yang berlainan jenis. Demikian juga proses pemeningan yang berbelit-belit, dinilai masyarakat kurang praktis, sehingga sekarang ini nampaknya cenderung berubah kearah yang lebih sederhana. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar