PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Timbulnya
adat meminang Di aceh dan klantan hingga dewasa ini tidak terlepas dari syariat
islam, namun dalam masyarakat luas timbul bermacam-macam pertanyaan mengenai
adat dan budaya bertentangan atau tidak, atau lebih jelasnya pertanyaan
tersebut merujuk kepada syiar islam itu sendiri.
Disini
perlu kita tinaju bahwa sanya ketrekaitan masyarakat dengan adat istiadat tidak
dapat dipisahkan, karena suatu adat atau budaya bukan hanya dialami oleh
seorang individu saja, akan tetapi juga dirasakan universal, baik di desa,
daerah atau negara, tujuannya hanya agar manusia saling mengenal satu sama lain
dalam perbedaan budaya, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an.
“Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Qs. Al-Hujarat : 13)”
Pada dasarnya jika dilihat
secara lahiriah ada beberapa persamaan dengan syariah pada dua daerah ini,
yaitu aceh dan klantan (malaisia), sehingga dapat terbentuknya budaya yang
humoris serta disambut oleh masyarakat setempat dan mempunyai unsur-unsur dan
nilai-nilai islami.
B.
Indentifikasi
Kitidak tahuan masyarakat
mengenai peranan syariat dalam budaya, akan mengakibatkan beberapa tradisi
penyimpangan pada beberapa wilayah, dikarenakan pengatahuan mistis dari cerita
yang tidak ada asal mulanya serta
tahalul-tahalul yang membawa kepada kesyirikan, dan menomor duakan agama
yang haq, Seperti meminta restu pada dukun, batu-batu dan pohon-pohon agar membuat jampi-jampi atau jimat agar
tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam masa peminangan sampai ke
pelaminan, secara tidak sadar hal ini telah menjadi budaya dan tradisi yang
menyimpang.
Seharusnya budaya tunduk
dibawah syariah, dengan demikian akan terbentuk keluarga sakinah, mawaddah
warahmah serta masyarakat yang harmonis.
C.
Rumusan masalah
Dalam budaya meminang
adat-istiadat aceh dan klantan mempunyai kesamaan serta penyusaian dengan syiar
agama yang signifikan tentunya
dengan cara-cara dan adab-adab yang
telah disesuaikan oleh orang-orang orang terdahulu, maka dari sini kami
1.
Apa hubungan
persamaan adat peminang adat aceh dengan klantan
2.
Bagaimana
kaitan positive yang ada pada adat meminang budaya aceh dan klantan
3.
Apa faeadah
dari adat peminangan tersebut
4.
Pakah Hasil
dari peminangan melayu dan aceh.
BAB II
ADAT MEMINANG ACEH DAN KLANTAN
I ADAT
MEMILIH JODOH
Menurut pola pemikiran
masyarakat Aceh, pilihan jodoh ini adalah merupkan kegiatan-kegiatan dari pihak
laki-laki. Dengan lain perkataan inisiatif pemiloihan jodoh boleh dikatakan tak
pernah datang dari pihak perempuan. Andai kata terjadi juga mesti dilakukan
dengan cara yang sangat rahasia, misalnya dengan perantaraan pihak ketiga yang
dipercaya dan dapat menyampaikan rahasia, sebab kalau hal ini diketahui umum
pasti menimbulkan ocehan-ocehan yang memalukan. Ocehan tersebut seperti
terlukis dalam kiasan, “Lagee mon mita
tima“, atau seperti sumur menacri timba. Maksud kiasan ini ialah seperti
perempuan mencari suami.
Kegiatan-kegiatan dalam memilih jodoh antara lain adalah
duek pakat yang berarti musyawarah atau tukar pikiran antara orang tua pemuda
dengan kaum kerabatnya yang terdekat dalam masalah :
a.
Menentukan gadis yang mana yang sesuai untuk menjadi
calon isteri anaknya
b.
Menetukan
siapa yang menjadi teulangke (urusan) yang menghubungi pihak keluarga calon
istri
c.
Menentukan
hari dan tanggal utusan itu akan mengadakan kontak pertama dengan keluarga
calon istri.
Kegiatan-kegiatan itu dilaksanakan tanpa dihindari oleh
anaknya atau pemuda yang akan dikawin. Menurut adat dan upacara perkawinan
diwaktu yang lampau pemilihan jodoh ini, dilakukan orang tua tanpa pengatahuan
anaknya yang bersangkutan. Bahkan sering terjadi sebelum anak laki-laki itu
dewasa, orang tuanya telah merencanakan anak gadis yang mana akan menjadi calon
teman hidup anaknya nanti. Dengan demikian dapatlah digambarkan fungsi seorang
anak dalam hal itu sangat tidak menentukan dalam pemilihan jodoh ini. Karena
menurut konsep masyarakat aceh, anak atau pemuda, suatu keluarga batih dan kaum
kerabat kedua belah pihak dapat mempertimbangkan mengenai calon menantunya.
Pertimabangan tersebut antara lain, agar keluarga calon menantunya
sekurang-kurangnya sederajat dengan dia, baik ditinjau dari sudut stratifikasi
sosial maupun maupun dari sudut ekonomi. Pokok pikiran lain yang mempunyai
nilai tersendiri dalam masyrakat Aceh, adalah bahwa kelihatannya pihak
perempuan masih cenderung memilih (menerima) calon menantunya adalah orang Aceh
asli. Karena menurut pendapat mereka kalau anak gadisnya, kawin dengan orang
luar daerah, nanti akan dibawa merantau, bahkan keluarganya juga menjadi
pertimbangan.
Cara pemilihan jodoh yang berlaku dalam
masyarakat adat aceh dewasa ini memang dirasakan kurang memberi kesempatan
kepada kedua calon suami istri sebagai pihak-pihak yang berkepentingan dalam
perkawinan mereka nanti. Sesuai dengan perkembangan masyarakat adat aceh
sekarang, maka telah terjadi pula perubahan-perubahan dalam tata cara memilih
jodoh, sehingga dalam masyarakat aceh dewasa ini terdapat dua pola tata cara
pemilihan jodoh :
Pertama, dilakukan oleh orang tua atas persetujuan anaknya
Kedua,
pemilihan itu dilakukan sendiri oleh pemuda yang bersangkutan, yang kemudian
yang diminta persetujuan orang tuanya. Pola pertama terdapat dalam masyarakat
adat yang masih murni, yang belum terpengaruh dengan sifat sifat masyarakat
“urban” (kota). Keputusan akhir dari pola pertama ini masih lebih dalam
masyarakat yang telah menerima pengaruh-pengaruh perkotaan. Pengaruh ini telah
menyusup sampai kedesa-desa, sebagai akibat perkembangan teknologi pendidikan
ke desa-desa, sebagai akibat perkembangan teknologi dan pendidikan modrn,
berbagai media telah tersedia yang memungkinkan pertemuan tau perkenalan
muda-mudi. Keputusan terakhir menurut pola ini berada pada kedua belah pihak
yang nantinya terlibat dalam perklawinan yaitu pemuda dan pemudi.
A.
Upacara adat
meminang
Setelah duek pakat
(mufakat) menghasilkan suatu keputusan yang bulat dalam menentukan gadis mana
yang dipinang, mulailah dilaksanakan langkah kedua. Dalam langkah kedua seorang
utusan yang disebut “teulangke”, atau utusan tuiha pengampee (tamiang), mulai
aktif. Dengan segala kecakapan dan kebijaksanaan teulangke itu menyampaikan
maksud kedatangannya kepada orang tua si gadis yang kan dipinang. Tugas
teulangke yang pertama ialah “cah rauet” atau merintis jalan, merisiok (anek
jamee), yang merupakan penjajakan kepad orang tua si gadis utuk mengatahui
hal-ihwal anak gadisnya.
Jika ternyata bahwa gadis
tersebut masih bebas, sebelum ada yang punyai, barulah ia menyampaikan bahwa
kedatangannya itu adalah utusan dari keluarga atau orang tua pemuda, yang
bermaksud melamar meski pun lamaran tersebut pada prinsipnya diterima oleh
orang tua si gadis, tetapi jawabannya tidak diberikan hari itu juga. Pokok
pikiran yang terkandung dari penangguhan jawaban ini, selain bermupakat dengan
sanak saudaranya yang terdekat adalah agar tidak terlalu nampak kegembiraannya
kepada pihak keluarga dan sanak saudara laki-laki atau untuk menjga prestasenya
Sebaliknya andai kata
pihak lamaran laki-laki itu ditolak, penolakan itu dilakukan dengan cara yang
halus agar pihak keluarga laki-laki tidak tersinggung. Penolakan itu biasanya
dengan alasan, belum bermaksud mengawinkan anak gadisnya karena masih sekolah
atau alasan alasan lainnya. Sirih memiliki peranan penting dalam
upacara-upacara adat. Sirih adalah
sebagai lambang perkenalan, persahabatan dan
persaudaraan. Bahkan denga sirih ini dapat diketahui apakah lamaran
tersebut ditolak atau diterima.
Menurut kepercayaan
masyarakat adat aceh bahwa dalam masa (tenggang waktu) antara lamaranpi dan memberi jawaban, orang
tua si gadis akan mimpi, kalau mimpinay baik, cerana atau tampak sirih
kosong dikembalikan adalah cerana yang
penuh berisi sirih didalamnya. Hal ini berarti lamaran pihak laki-laki ditolak
atau tidak diterima.
Selain dari pada sirih ada
juga penganan-penganan yang dibawa oleh tuelengke,
adalah berfungsi sebagai “bungoeng jaro”
maksudnya tuelangke yang datang untuk melamar itu jangan datang dengan tangan
kosong saja, ataupun untuk menghormati
keluarga pihak perempuan. Kalau lamaran itu diterima, tugas teulangke
selanjutnya mengadakan “intat tanda” (antar tanda) atau tukar cincin. Pada saat tukar cicin itu juga dibicarakan, mas kawin
kapan waktunya perkaiwinan akan dilaksanakan dan yang lain-lain yang
berhubungan perkawinan itu. Tanda yang sering disebut tanda “konkrit” dalam
masyarakat Aceh, berfungsi sebagai pengikat dan pemancang, maksudnya si gadis
telah terikat atau telah ada yang punya.
Sebagai
tanda kong narit biasanya sebentuk cincin dari emas, selain tanda yang juga
ikut dibawa : Kin baju, kain panjang,selaendang, bedak, sabun, dan
penggunaan-penggunaan. Untuk memperkecil terjadinya pelanggaran dari
pertunangan itu, adat menetapkan sanksinya. Kalau pihak laki-laki yang
melanggar, maka tanda dan barang itu hilang. Sebaliknya jika pihak perempuan
yang melanggar janji, tanda barang-barang bawaan lain itu harus di kembalikan
dua kali lipat.
Setelah
selesai semua upacara pertunangan, kedua belah pihak masing-masing mengadakan
persiapan-persiapn persiapan untuk perkawinan.
Masa
atau tenggang waktu antara selesai pertunangan samapi dengna perkawinan
dilaksanakan disebut masa pertunangan. Dalam masa pertunangan ini masing-masing
wanita dan pria, harus mengatasi pergaulannya denga wanita lain. Dan sebaliknya
seoranga gadis yang berada dalam masa pertunangan harus membatasi diri dalam
pergaulan dengan teman pria lain. Karena itu biasanya seorang gadis yang berada
dalam masa pertunangan ini menetapakan penjagaan ketat dari orang tuanya. Hal
ini dilakukan demi menghindari hasutan dan fitnahan dari pihak ketiga. Dan juga
dimaksudkan untuk menjahui anak gadisnya dari godaan-godaan pemuda lain. Karena
itu seorang gadis yang sedang dalam masa pertunangan ini mendapat penjagaan
ketat dari orang tuanya. Hal ini dilakukan dami menghindari hasutan dan
fitnahan dari pihak ketiga. Dan juga dimaksudkan untuk menjahui anak gadisnya
dari golongan peuda-pemuda lain.
Dalam
masyarakat pedesaaan belum menerima pengaruh kota, dalam masa pertunangan ini
belum belum dibolehkan bagi pemuda/pemudi untuk bergaul secara akrab dengan
tunangannya. Bahkan kalau kebutulan berselisih dijalan mereka malu bertegu
sapa, apa lagi bersenda gurau, piknik atau nonton bersama. Tetapi biarpun
demikian masa pertunangan itu merupakan masa yang paling sensitif bagi kedua
belah pihak. Karena itu mereka harus saling membatasi dirinya bergaul dengan
teman-teman lawan jenisnya.
Sedang
bagi masyarakat Aceh yang telah menerima pengaruh-pengaruh kota, dimana memilih
jodoh di lakukan sekurang-kurangnya atas persetujuan mereka berdua, masa
pertunangan ini adalah masa pemupukan kasih sayang mereka. Tetapai pembangunan
yang tepat dilakukan dlam segala bidang dewasa ini, membawa pengaruh-pengaruh
yang besar terhadap pola pikiran masyarakat adat aceh. Moderenisasi membawa
perubahan-perubahan samapi kepada nilai-nilai adat dan upacara perkawinan
Konsep
pemikiran masyarakat adat aceh dewasa ini cenderung untuk mencapai nilai-nilai
yang praktis, tanpa mengabaikan niali-nilai adat. Sehingga massa pertunangan
tidaklah lagi merupakan intip mengintip, melainkan masa melakukan
pendekatan-pendekatandan penyusuaian kearah terpadunya suatu ikatan lahir
bathin antara dua makhluk yang berlainan jenis. Demikian juga proses pemeningan
yang berbelit-belit, dinilai masyarakat kurang praktis, sehingga sekarang ini
nampaknya cenderung berubah kearah yang lebih sederhana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar