Senin, 05 Maret 2012

Budaya Walimah Aceh & Kelantan


BAB II
BUDAYA WALIMAH DI ACEH dan KELANTAN SERTA PENGARUH ISLAM DI DALAM KEDUANYA
A.    BUDAYA WALIMAH di ACEH dan PENGARUH ISLAM
1.      Walimah di Aceh
Walimah adalah pesta perkawinan yang dilakukan untuk mengumumkan bahwa sepasang insan telah menikah dan akan mengarungi hidup bersama dalam suka dan duka. Hal ini dilakukan oleh setiap penduduk di muka bumi baik muslim maupun non muslim.
Tidak diragukan lagi, bahwa setiap daerah mempunyai tatacara masing-masing. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Daerah Aceh mempunyai tatacara yang telah ada semenjak dahulu kala dan sampai saat ini masih ada budaya walimah tersebut.
Masyarakat Aceh dalam mengadakan pesta perkawinan ini sangat tergantung kepada kemampuan ekonomi. Jika ekonomi mendukung maka acara akan diselenggarakan secara meriah dan sebaliknya[1].
Untuk memudahkan dan mencepatkan urusan, orang tua calon darabaro mengundang Keuchik, Teungku Meunasah dan orang-orang tua kampung ke rumahnya untuk makan pada suatu malam sesudah shalat maghrib beberapa malam sebelum menerima linto. Sesudah makan, orang tua (ayah) atau wakilnya menerangkan maksudnya dan meukeureujanya (pesta perkawinan) pada hari dan malam yang telah ditentukan, memberi keterangan beberapa banyak tamu yang diundang, mulai jam berapa sampai jam berapa acara pesta perkawinan dilaksanakan[2].
Beberapa urusan pekerjaan yang bersangkutan dimintakan oleh ayah kepada mereka untuk membantu demi terselenggaranya acara pesta perkawinan tersebut. Misalnya, urusan penerimaan tamu, bagian masak-memasak, pencucian piring, penyajian makanan dan lain-lain yang diperlukan. Mau tidak mau mereka menerima pekerjaan itu. Mereka bertanggung jawab atas kebahagiaan dan ketentraman  kampungnya. Mereka dijamu makan lagi, sesudah urusan meukeureuja selesai semuanya[3].
Keuchik, Teungku Meunasah dan orang-orang tua yang bersangkutan itu boleh menunjuk orang-orang kampungnya yang tepat dan diperlukan masing-masing untuk urusan-urusan itu. Mereka tidak berberat hati untuk menerimanya, karena mereka sadar bahwa kelak mereka akan mengalami yang demikian[4].
Penerimaan tamu pria dilakukan oleh ayah darabaro, Teungku Imam, dan Keuchik serta orang-orang tua kampung setempat dan para tamunya ditempatkan di serambi depan rumah atau di tempat darurat yang disebut “seueng” atau tenda.
Penerimaan tamu wanita dilakukan oleh wanita sendiri dan dahulu ditempatkan di serambi belakang rumah yang bersangkutan, namun sekarang dimana-mana di dalam rumah.
Seluruh para undangan dihidangkan makanan yang enak dalam wadah talam. Namun sekarang tidak lagi dengan hidangan tetapi mengambil sendiri makanan yang telah tersedia di tempat persediaan makanan atau istilah sekarang sistem ini dikenal dengan sistem prasmanan (sistem layan diri).
Biasanya, walimatul urusy itu berlangsung selama satu hari, kira-kira pukul 3 sore hari selesai acara tersebut. Terkadang tamu yang jauh agak terlambat menghadiri acara itu. Namun tuan rumah juga menyantuni tamu tersebut dengan baik pula.
Tamu yang menghadiri pesta perkawinan itu biasanya tidak ada yang datang  dengan tangan kosong. Mereka semua memberikan sumbangan (teumeuntuek) menurut kemampuan masing-masing. Teumeuntuek ini dinamakan dengan “Adat Muqabalah” yang maksudnya adalah adat saling berbalas. Suami-Istri yang menjadi tamu harus menyumbang masing-masing, tidak boleh digabungkan. Namun sekarang sebagai sumbangan, ada juga yang memberikan barang, misalnya seperti kain, pecah-belah, dan sebagainya. Barang-barang yang dibawakan tersebut dibungkus rapi atau dengan kata lain sekarang disebut “Kado” dan dituliskan nama dari siapa datangnya.
Para tamu yang diundang untuk menghadiri pesta perkawinan tersebut biasanya terdiri dari  sahabat-sahabat, kenalan-kenalan yang dekat dan jauh, ahli waris atau famili jauh dari pihak linto.
Sebelum meukeureuja (pesta perkawinan), famili terdekat memberikan sumbangan untuk keperluan acara pesta baik berupa uang maupun berupa barang seperti binatang ternak, beras, sayur mayur dan lain-lain.
Ketika hari acara pesta linto dan darabaro mengenakan pakaian adat Aceh. Pakaiannya dibuat khusus untuk dipakai oleh pengantin baru, tidak sama seperti baju biasa. Warna pakaian yang digunakan warna kuning emas dan warna hitam.
2.      Pengantaran Linto (antat linto)
Setelah linto (mempelai laki-laki) meminta izin kepada orang tua dan saudara-saudaranya semua maka dituntun oleh beberapa orang tua untuk turun dari tangga rumahnya. Begitu sampai di bawah, orang tua itu mengucapkan “Allahumma Shalli ‘Ala Muhammad”. Para hadirin yang akan mengantarkan linto menyahut “Shallu ‘Alaih” dengan nada semangat dan diulangi sampai 3 kali sambil menempatkan lintonya di tengah-tengah para pengantarnya.
Para pengantarnya terbatas sesuai dengan hasil kesepakatan pihak darabaro dan pihak lintobaro. Hal ini biasanya didasarkan pada keuangan dari orang tua pihak darabaro, karena orang Aceh tidak mengenal uang hangus yang khusus digunakan untuk acara pesta.
Dalam pengantaran ini, lintobaro membawa oleh-oleh untuk darabaronya berupa barang. Misalnya seperti kain sarung, pakaian baik dalam maupun luar, seperangkat alat shalat, makanan, kue-kue dan lain sebagainya.
Ketika tiba di pekarangan rumah darabaro, mereka menyimpan linto di belakang mereka dan ketua rombongan akan berbicara dengan orang yang menyambut kedatangan mereka sambil berpantun-memantun yang saling sahut-menyahut antara kedua belah pihak. Setelah itu, barulah penyambut memberikan sirih kepada para tamunya sebagai tanda suatu kehormatan.
Ketika linto sudah sampai di pintu rumah darabaro, seorang perempuan tua mempeusijueknya (menepung tawari) sambil membaca beberapa patah do’a yang isinya meminta kepada Allah agar menyejahterakan linto tersebut. Setelah itu barulah linto beserta rombongan dimasukan ke dalam rumah untuk mencicipi makanan yang telah dihidangkan.
Sesudah mencicipi hidangan, linto dipersilakan untuk menduduki pelaminan dan duduk bersanding dengan darabaro yang telah dihias begitu cantik dan elok dipandang mata. Di persandingan tersebut, mereka berdua dipeusijuek lagi oleh orang tua yang lain.
Setelah acara persandingan selesai maka dilakukan pula acara Seuneumah, yaitu linto baro mengadakan sembah (sungkem) kepada kedua orang tua darabaro dan kerabatnya.
Pada acara tueng darabaro (penerimaan darabaro) juga demikian dilakukan.
3.      Pengaruh Islam dalam Adat Walimah Aceh
Jika kita kaji lebih mendalam, maka pengaruh keislamannya akan kita dapati sangat banyak dan besar. Mulai dari turunnya seorang linto dari rumahnya sudah jelas di sana terdapat pengaruh islam begitu besar, yaitu, linto meminta izin kepada kedua orang tuanya beserta saudara-saudaranya. Sebagaimana firman Allah:
4Ó|Ós%ur y7/u žwr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$­ƒÎ) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7tƒ x8yYÏã uŽy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdŸxÏ. Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ
Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS. Al-Isra’: 23)
Hadis Rasulullah,
صَاحِبُ هَذِهِ الدَّارِ وَأَوْمَأَ بِيَدِهِ إِلَى دَارِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ[5] (رواه البخاري)
Seorang shahabat datang kepada Rasul dan bertanya, pekerjaan apa yang paling dicintai Allah? Rasul bersabda, shalat tepat pada waktunya, shahabat bertanya lagi, kemudian apa? Rasul bersabda, berbuat baik kepada kedua ibu bapak, shahabat bertanya lagi, kemudian apa? Rasul bersabda, bersungguh-sungguh di jalan Allah. (H.R. Bukhari)
Kemudian ketika menyemarakkan dengan kata-kata selawat ke atas Nabi, itu juga pengaruh Islam. Firman Allah,
¨bÎ) ©!$# ¼çmtGx6Í´¯»n=tBur tbq=|Áムn?tã ÄcÓÉ<¨Z9$# 4 $pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#q=|¹ Ïmøn=tã (#qßJÏk=yur $¸JŠÎ=ó¡n@ ÇÎÏÈ
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.(QS. Al-Ahzab: 56)
Semua tamu yang diundang dengan senang hati memenuhi undangan tersebut. Kalau mereka tidak memenuhinya (karena suatu alasan) maka mereka sangat merasa bersalah dan langsung meminta maaf kepada pihak keluarga yang mengundangnya. Karena menurut mereka itu adalah salah satu kewajibannya terhadap sesama muslim yang harus dipenuhi. Sabda Rasul,
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ[6] (رواه البخاري)
Abu Hurairah ra. berkata bahwa beliau mendengarkan dari Rasul SAW bersabda, “hak seorang muslim terhadap seorang muslim yang lain adalah 5 perkara yaitu, menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, memenuhi undangan dan mendo’akan orang bersin.(HR. Bukhari).
Ketika sampai di rumah darabaro, ketua rombongan lintobaro memberikan salam dalam bentuk pantun-memantun yang saling sahut-menyahut antara kedua belah pihak linto dan darabaro. Sabda Nabi,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ[7] (رواه مسلم)
Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda, tidak akan kalian masuk surga sehingga beriman dan tidak beriman kalian sehingga kalian saling mencintai terhadap sesuatu. Apabila kalian melakukannya maka kalian telah saling mencintai, oleh karena itu sebarkanlah salam di antara kamu.(HR. Muslim)
Setelah itu rombongan dan para tamu undangan diterima dan diperlakukan dengan baik oleh pihak keluarga darabaro. Sabda Rasul SAW,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ[8] (رواه الترمذي)
Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia muliakan tamunya. (HR. Tirmizi)
Kemudian, linto dan darabaro dipeusijuek (ditepung tawari). Hal itu dilakukan untuk menghormati adat nenek moyang. Dalam peusijuek biasanya dibacakan do’a-do’a kesejahteraan, keselamatan, keharmonisan dalam rumah tangga dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Firman Allah,
tA$s%ur ãNà6š/u þÎTqãã÷Š$# ó=ÉftGór& ö/ä3s9 4 ¨bÎ) šúïÏ%©!$# tbrçŽÉ9õ3tGó¡o ô`tã ÎAyŠ$t6Ïã tbqè=äzôuy tL©èygy_ šúï̍Åz#yŠ ÇÏÉÈ
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina".
Memang, peusijuek ini bukanlah anjuran agama tetapi merupakan adat istiadat yang sudah mendarah daging sejak zaman dahulu kala. Dan ini merupakan pengaruh dari agama hindu ketika nenek moyang belum mengenal Islam. Oleh sebab itu peusijuek ini tidak boleh dilupakan karena itu adalah salah satu warisan nenek moyang yang tidak bertentangan dengan akidah.



[1] Muliadi Kurdi, Aceh di Mata Sejarawan, (Banda Aceh: LKAS, 2009), eds. I, Cet. I, hlm. 51.
[2] Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, (Banda Aceh: Dinas PK DI. Aceh, 1970), cet. I, hlm. 21.
[3] Ibid, hlm. 22.
[4] Ibid, hlm. 22.
[5] Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, juz 18, hlm. 361, nomor hadis 5513.
[6] Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, juz 4, hlm. 461, nomor hadis 1164.
[7] Muslim bin Al-Hujjaj, Shahih Muslim, juz I, hlm. 180, nomor hadis 81.
[8] Muhammad bin ‘Isa bin Saurah Al-Tirmizi, Sunan Al-Tirmizi, juz 7, hlm. 231, nomor hadis 1890.

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah, Mudah-mudahan mushalla Azh-zhilal menjadi wadah keilmuan yang diradhai Allah, untuk selamanya... Amiiin

    BalasHapus